Profil GKM

young-volunteers-planting-trees-in-green-park-together.jpg
young-volunteers-planting-trees-in-green-park-together.jpg
Sejarah Gereja

GMIM Jemaat
KRISTUS Manado

Pada mulanya persekutuan ini merupakan prakarsa dari sejumlah tokoh dan warga Tionghoa yang sudah percaya Yesus Kristus maupun yang belum. Mereka berkumpul dalam sebuah paguyuban warga Tionghoa di lantai dua Toko Aneka Dharma (Aneka Store) di kawasan Pasar 45 Manado, tiap hari Minggu.

Dalam perkumpulan itu belum ada liturgi atau tata ibadah yang baku. Suatu ketika pertemuan informal itu mulai ditata sebagaimana layaknya sebuah ibadah Minggu. Badan Pekerja Sinode GMIM kemudian memberikan dukungan dengan menempatkan hamba Tuhan. Sejumlah hamba Tuhan dari SAAT Malang kemudian memberi penguatan dalam perkembangan seterusnya.

Inilah cikal bakal lahirnya GMIM Jemaat Kristus Manado.
BERAWAL DARI TOKO ANEKA DHARMA
Berdirinya GMIM Kristus Manado tak dapat dipisahkan dari kehidupan kelompok etnis Tionghoa di Kota Manado. Kelompok etnis ini disebut sebagai kelompok yang “mekar di perantauan” karena mereka pada mulanya berasal dari beberapa provinsi di daratan Tiongkok, yang kemudian tersebar di beberapa kepulauan Indonesia, termasuk di Manado.

Para peneliti sejarah antropologi budaya menduga-duga, orang-orang Tionghoa telah berada di Manado sejak tahun 1655. Kaum ini didatangkan oleh pemerintah Belanda untuk membangun sebuah benteng pertahanan di Manado, yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kayu Amsterdam. Karena status, kedudukan, serta pekerjaan mereka diatur dengan ketat oleh pemerintah Belanda, maka orang-orang Tionghoa ini harus berdiam di daerah perkotaan, suatu daerah khusus yang terpisah dari masyarakat pribumi maupun orang asing lainnya. Wilayah pemukiman etnis Tionghoa ini kemudian dikenal dengan sebutan “Chinese Wijk” atau Kampung Cina dalam bahasa orang Manado. Kawasan tersebut sampai sekarang terkenal sebagai pusat perdagangan di Ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Walaupun disebut Kampung Cina, kini kawasan ini sudah ditempati oleh warga dari beragam latar belakang suku dan adat istiadat.

Pemikiran tentang perlunya upaya Pekabaran Injil di kalangan orang-orang Tionghoa yang berdomisili di daerah Manado dan Minahasa berawal dari Sidang Badan Pekerja Sinode GMIM pada tahun 1938 di Tomohon. Dalam sidang gereja yang baru berusia empat tahun tersebut telah berhasil dibentuk beberapa komisi selain Komisi Persekolahan yang sudah ada sebelumnya. Komisi-komisi yang baru terbentuk itu adalah: Komisi Liturgi, Komisi Pemuda, Komisi Kesehatan, dan Komisi Pekabaran Injil. Salah satu topik hangat yang dibicarakan dalam Komisi Pekabaran Injil adalah upaya pekabaran Injil bagi orang-orang Tionghoa yang ada di kota Manado. Pemikiran yang mulia ini dikemukakan oleh Pdt. Rogahang, yang pada saat itu sedang bertugas melayani jemaat di Titiwungen Manado.

Selain menangani pekabaran Injil di Donggala, Gorontalo dan Luwuk, Komisi Pl yang baru terbentuk ini telah mulai juga menjajaki upaya pekabaran Injil bagi orang-orang Tionghoa di Manado. Namun upaya ini mengalami hambatan yang cukup besar karena pada tahun berikutnya GMIM menghadapi berbagai macam kesulitan, baik yang menyangkut tenaga maupun dana akibat pecahnya Perang Dunia II.

Setelah Perang Dunia II berakhir, seorang pemuka masyarakat yang berketurunan Tionghoa, yakni Tuan Kade Kwee, bekerja sama dengan Badan Pekerja Majelis Gereja di Manado memprakarsai diadakannya ibadah khusus bagi orang- orang Tionghoa. Usaha ini tidak dapat berkembang dengan baik dan pada akhirnya terhenti karena tidak adanya pendeta khusus yang memahami dan memiliki latar belakang Tionghoa untuk menangani pelayanan tersebut.

Sidi Awal & Sakramen Baptisan Jemaat Kristus Manado

Pada bulan Oktober 1960 Badan Pekerja Sinode GMIM menempatkan Pdt. Eleonora Waworuntu di wilayah pelayanan Manado dengan tugas melayani para kaum wanita yang tergabung dalam Pergerakan Kaum Ibu Kristen Minahasa (PKIKM) di Manado. Pelayanan ini dilaksanakan dengan baik oleh Pdt. E. Waworuntu sehingga Badan Pekerja Sinode GMIM kemudian mengalihtugaskan Pdt. E. Waworuntu untuk mulai menjajaki dan melaksanakan penginjilan bagi orang-orang Tionghoa di kota Manado dalam rangka mewujudkan gagasan yang pernah dibahas dalam Sidang Sinode tahun 1938. Untuk pelaksanaan tugas ini Pdt. E. Waworuntu didampingi oleh beberapa ibu pengurus PKIKM Manado.

Dengan semangat yang tinggi mulailah mereka mengunjungi sekaligus mengajak keluarga-keluarga Tionghoa yang sudah Kristen untuk berkumpul. Pada tanggal 1 Mei 1962 mereka diundang untuk menghadiri acara HUT seorang kepala keluarga (Bapak Piet Tambuwun) yang istrinya sudah Kristen. Acara ini dihadiri pula oleh orang- orang Tionghoa yang belum Kristen, di antaranya adalah Bapak Lie Chor Ping dan istrinya. Seusai acara tersebut, terjadilah percakapan di antara mereka untuk mulai mengumpulkan orang- orang Tionghoa dalam satu persekutuan. Beberapa orang di antaranya menyambut gagasan ini dengan baik, bahkan ada yang bersedia menjadi penghubung untuk mengajak orang lain turut serta. Pada saat itu pulalah terjadi kesepakatan untuk berkumpul kembali pada Minggu berikutnya di salah satu rumah keluarga penghubung.

Pada tanggal 20 Mei 1962 Pdt. E. Waworuntu diundang untuk memimpin ibadah dalam satu acara perkumpulan Kristen (biasanya disebut pertemuan rukun) yang diberi nama Rukun Rumoong Lansot di bawah pimpinan Ibu Dien Kumaat (Ny. Yun Kumaat). Banyak di antara anggota rukun ini berasal dari Rumoong-Lansot kecamatan Tareran, Minahasa Selatan yang bersuamikan orang Tionghoa, sehingga kesempatan ini dipergunakan sebaik- baiknya oleh Pdt. E. Waworuntu untuk mengutarakan tugas yang diembannya dan mendapat tanggapan yang positif. Mereka bersepakat untuk berkumpul kembali di rumah salah seorang peserta. 

diverse-group-of-volunteers-with-donation-boxes-standing-outdoors-social-care-and-charity-concept.jpg

Lie Chor Ping

DISINI !!! TOKO ANEKA DHARMA GMIM JEMAAT “KRISTUS” MANADO MULA-MULA

DENGAN semangat yang berkobar-kobar Lie Chor Ping mengajak serta mengumpulkan sanak saudaranya, dan para kenalannya dari kalangan Tionghoa yang belum Kristen. Mereka mengadakan acara ramah-tamah di rumahnya pada setiap hari Minggu pagi. Alasan mengadakan pertemuan ini adalah untuk membicarakan teknik, taktik pada waktu itu dan trik-trik meningkatkan usaha-usaha perdagangan, akan tetapi sebelum acara berakhir diadakan ibadah singkat dengan pembacaan Alkitab dan pemberitaannya. Berkat pengaruhnya yang cukup besar di kalangan para pedagang Tionghoa ditambah giatnya Bapak Lie Chor Ping mengajak serta mengumpulkan mereka di rumahnya, maka pada hari Minggu pagi pada tanggal 3 Juni 1962 telah berkumpul sebanyak 25 orang Tionghoa yang belum mengenal Kristen di rumahnya, dengan acara sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya, yakni ramah-tamah yang diakhiri dengan ibadah singkat.

Pada tanggal 10 Juni 1962, bertepatan dengan Perayaan Hari Pentakosta, bertempat di rumah Kel. Tambuwun-Rompas telah berhasil dikumpulkan oleh kelompok Aneka Dharma dengan pimpinan Lie Chor Ping dan kelompok ibu-ibu yang tergabung dalam Rukun Rumoong-Lansot sebanyak 65 orang. Pertemuan tersebut sudah berbentuk ibadah gereja dan saat itu juga telah diadakan pembaptisan seorang dewasa yang bernama Sie Boen Seng (Joppie Pandeirot) oleh Pdt. E. Waworuntu.

Melihat semakin bertambahnya jumlah anggota yang ikut bersekutu maka kebiasaan ibadah Minggu di rumah Lie Chor Ping kemudian dipindahkan ke ruang Toko Aneka Store (Aneka Dharma), terhitung mulai hari Minggu tanggal 17 Juni 1962. Dengan dibarengi usaha-usaha yang keras melalui perkunjungan penggembalaan dari rumah ke rumah, hari demi hari jumlah anggota semakin bertambah, termasuk anak-anak.

Hal ini semakin memberikan daya dorong bagi para warganya untuk mulai memikirkan pengadaan tempat ibadah yang tetap dan memadai. Di samping itu pemikiran-pemikiran penting misalnya pengadaan tenaga pendeta yang bisa berbahasa Tionghoa pun tidak luput dari perhatian jemaat.

Di penghunjung tahun 1962 terjadi suatu peristiwa penting yang patut diperhatikan yaitu adanya pertemuan antara Ketua Badan Pekerja Sinode GMIM yang dalam hal ini Ds. A.Z.R. Wenas dengan Ketua Badan Pekerja Majelis Wilayah Manado : Pdt. A. Rondo, serta pemuka Jemaat Tionghoa waktu itu yakni Lie Chor Ping. Pertemuan ini mengambil tempat di rumah Kel. Lie Chor Ping, dan kemudian dilanjutkan dalam pertemuan yang lebih resmi, bertempat di gedung Gereja Sentrum Manado. Para kedua pertemuan tersebut disepakati dua pokok penting sehubungan dengan kelanjutan pelayanan di Jemaat Tionghoa ini, yakni perlunya tenaga pelayan yang mampu berbahasa Tionghoa di samping tenaga pendeta yang sudah ada, dan perlunya suatu kerja sama yang baik dari pihak Badan Pekerja Sinode GMIM, Badan Pekerja Wilayah Manado dan Bapak Lie Chor Ping untuk merealisasikan hal-hal tersebut.

Atas anugerah Tuhan, pada awal tahun 1963 Lie Chor Ping berkesempatan mengunjungi Madrasah Alkitab Asia Tenggara (MAAT – sekarang SAAT) di Malang dan memintakan seorang tenaga pelayan lulusan seminari tersebut yang mampu berbahasa Mandarin. Rektor Seminari Alkitab Asia Tenggara, yakni Pdt. Peter Wongso, menyambut gembira permohonan bantuan ini dan beliau berjanji akan mengirimkan salah seorang pelayan lulusan seminari ini untuk membantu aktifitas pelayanan jemaat di Manado.

GKM Menyapa

Sarana Pelayanan GMIM Kristus Manado
di Dunia Maya