Ringkasan Khotbah KU Minggu, 10 Mei 2020
“Komunitas Yang Saling Menajamkan”
Amsal 27 : 17
Ev. Amelia Runtuwene
Dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan kita stay at home, kita makin merasakan betapa kita membutuhkan kehadiran orang lain. Perjumpaan langsung dengan orang lain atau sekelompok orang tertentu tidak dapat digantikan oleh apapun walau teknologi sudah berusaha untuk membantu. Pada dasarnya karena memang demikianlah kita diciptakan. Kita diciptakan sebagai makhluk sosial sehingga kebutuhan terdalam kita adalah berelasi. Pada waktu Allah menciptakan manusia, Allah sengaja menaruh kebutuhan dalam diri manusia untuk berelasi. Inilah yang membawa manusia kepada hasrat akan persekutuan dan relasi yang intim dengan Pribadi Allah yang selalu ada dan juga berelasi dalam ke-TritunggalanNya.
Ada dua hal penting yang akan kita lihat dari kalimat “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”
- BESI ADA UNTUK MENAJAMKAN
“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” berbicara kuat tentang dasar-dasar relasi. Sebagai orang percaya kita punya tanggung jawab untuk menajamkan orang lain supaya mereka makin indah dan serupa dengan Kristus sehingga efektif dipakai dalam kerajaan Allah. Saudara dapat mengukur seberapa hebat Saudara ketika Saudara dapat menarik keluar orang lebih daripada yang mereka lihat dalam diri mereka sendiri. Di sisi lain, saat Saudara mencoba menarik potensi yang terbaik dari diri mereka, mereka membantu Saudara memaksimalkan karunia yang ada dalam diri Saudara.
Inilah proses penajaman. Dan proses penajaman paling efektif terjadi dalam komunitas gereja. Karena gereja adalah kumpulan orang-orang yang sudah ditebus dengan darah-Nya yang mahal. Kumpulan orang-orang berdosa yang sudah menerima anugerah. Kumpulan orang-orang yang sudah mengalami kasih dan pengampunan. Kumpulan orang-orang yang sedang bergerak pada pertumbuhan serupa dengan Kristus. Kehadiran Saudara dan saya sama-sama penting untuk membuat kita sama-sama menjadi makin tajam. Ingat, kehadiran kita untuk menajamkan dan bukan untuk menusuk orang lain. Begitu juga kehadiran orang lain ada untuk menajamkan kita dan bukan untuk menusuk kita. Besi bisa menajamkan besi tetapi bisa juga besi itu ada untuk merusak besi yang lain. Besi yang menusuk atau merusak tentu tidak terpakai sesuai fungsinya.
Perbedaannya jelas sekali antara besi yang menusuk/merusak dan besi yang menajamkan. Besi yang menusuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain bukan berdasarkan kebenaran tetapi karena opini pribadi atau karena suka atau gak sukanya dia terhadap orang itu. Besi yang menusuk berarti menegur karena telah merasa dirugikan bukan karena mengasihi dan merindukan yang terbaik bagi orang itu. Mazmur 141:5a berkata, “Biarlah orang benar memalu dan menghukum aku, itulah kasih.”
- PROSES PENAJAMAN MEMBUTUHKAN WAKTU
Seringkali kita tidak sabar dalam proses. Kita menuntut hasil cepat tetapi tidak tahan untuk melewati proses. Yang namanya proses pasti membutuhkan waktu. Salomo mengatakan “Besi menajamkan besi.” Kalimat selanjutnya dalam bahasa Ibrani lebih pas terjemahannya berdasarkan analogi Salomo ini. “Besi menajamkan besi, satu orang menajamkan wajah orang lain.” Seperti halnya seorang pria dapat mempertajam wajah pedangnya dengan besi agar lebih tajam dan cocok untuk pertempuran, demikian pula seorang teman yang setia memperlengkapi temannya untuk berhasil.
Menajamkan besi di dunia kuno tidaklah mudah seperti zaman sekarang yang punya peralatan yang lebih canggih, ada batu asahan listrik atau perangkat penajam lainnya. Dulunya untuk menajamkan besi diperlukan pemukulan berkali-kali serta berhati-hati, dan prosesnya berlangsung lama. Jadi, peribahasa “besi menajamkan besi” mengingatkan kita akan kegigihan dalam persahabatan. Seseorang tidak mengasah orang lain hanya dengan satu pidato atau dialog, meskipun mungkin di waktu tertentu satu atau dua kalimat yang dikeluarkan menginspirasi dan mudah diingat. Orang menajamkan orang lain itu pasti membutuhkan waktu. Kita perlu persahabatan yang mungkin bertahun-tahun dan melewati banyak musim kehidupan baru kemudian dapat menajamkan orang lain. Disinilah kesetiaan dan kegigihan sangat dibutuhkan.
Bagaimana proses menajamkan ini terjadi? Salomo dalam Amsalnya memberikan ide yang sangat jelas yaitu melalui proses percakapan. Jika kita membaca keseluruhan pasal 27 ini maka kita akan menemukan bahwa pengamsal memberi perhatian kepada “kata-kata” dalam interaksi satu sama lain. Percakapan yang baik menajamkan seseorang menjadi lebih baik. Percakapan yang buruk menajamkan orang itu juga untuk menjadi buruk.
Tuhan mengizinkan sifat-sifat keras dalam hidup kita dihaluskan melalui percakapan dengan orang lain. Karakteristik dari persahabatan transformatif bahwa itu harus mendorong teman-teman kita untuk mengasihi dan melakukan apa yang benar di hadapan Allah. Persahabatan bukan hanya untuk merasa baik dan nyaman. Persahabatan orang Kristen harus menantang kita untuk hidup lebih dekat dengan firman Allah, untuk mencerminkan karakter Kristus, untuk menunjukkan siapa Tuhan kita. Timothy Keller mengatakan, “(Persahabatan rohani) adalah dengan penuh semangat saling membantu, mengenal, melayani, mencintai, dan menyerupai Tuhan dengan cara yang lebih dalam dan lebih dalam.”
Apakah saudara memiliki “besi” lain dalam hidup yang membantu mengasah saudara? Kiranya persahabatan yang kita bangun dalam komunitas gereja juga makin menajamkan kita menjadi indah, kudus dan berkenan di hadapan-Nya sehingga Tuhan dimuliakan melalui gereja-Nya. Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja memberkati kita semua.